BERITA INFO INHIL - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menilai, tidak patut Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak menandatangani Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Hal ini dikatakan Jimly terkait ucapan Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Padjajaran Bagir Manan yang mempertanyakan alasan Presiden Jokowi sampai saat ini belum menandatangani UU KPK hasil revisi.
"Sangat tidak patut bahwa itu tidak disahkan oleh presiden. Orang ide-nya dari presiden, inisiasinya dari presiden, DPR setuju, loh kok malah enggak diteken," kata Jimly dalam diskuai online bertajuk 'Mengkritisi UU Tanpa Tandatangan Presiden Mengukur Kebijakan Pembentukan UU dari Sisi Etika dan Moral, Senin (6/7/2020).
Jimly mengatakan tidak ditandatanganinya UU KPK hasil revisi adalah persoalan yang serius. Tindakan tersebut, menurut dia, tidak sesuai dengan etika dan kepatutan konstitusional.
"Jadi ini persoalan serius ini bukan hanya soal sepele. Ini menyangkut soal kepatutan konstitusional," ujarnya.
Sebelumnya, seperti dikutip dari Tribunnews.com, Bagir Manan mempertanyakan mengapa Presiden Joko Widodo tidak menandatangani UU KPK tersebut.
Pernyataan itu dikatakan Bagir saat menjadi ahli sidang uji formil dan materil Undang-Undang KPK di ruang sidang pleno lantai II, Gedung MK, Rabu, (24/6/2020).
"Sudah disetujui, tetapi tidak ditandatangani. Pertanyaan lebih jauh, presiden tidak tanda tangan berarti ada sesuatu yang tidak disetujui oleh presiden?" ujar Bagir Manan.
Menurut dia, sikap presiden tidak menandatangani draft revisi UU KPK tidak sesuai praktik etika ketatanegaraan.
Meskipun, kata dia, pada umumnya presiden mengesahkan undang-undang yang sudah disepakati bersama antara pemerintah dengan DPR.
Dia menilai, tidak adanya tandatangan presiden sebagai sesuatu anomali yang tidak sesuai dengan asas atau prinsip umum pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
"Keputusan Presiden membiarkan Rancangan Undang-Undang KPK menjadi undang-undang tanpa pengesahan, semestinya disertai alasan-alasan yang dapat diketahui publik. Karena kalau sudah disetujui DPR itu sudah kehendak rakyat, dia mempunyai kewajiban untuk mengikuti kehendak rakyat," ucapnya.
sumber: kompas.com
Hal ini dikatakan Jimly terkait ucapan Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Padjajaran Bagir Manan yang mempertanyakan alasan Presiden Jokowi sampai saat ini belum menandatangani UU KPK hasil revisi.
"Sangat tidak patut bahwa itu tidak disahkan oleh presiden. Orang ide-nya dari presiden, inisiasinya dari presiden, DPR setuju, loh kok malah enggak diteken," kata Jimly dalam diskuai online bertajuk 'Mengkritisi UU Tanpa Tandatangan Presiden Mengukur Kebijakan Pembentukan UU dari Sisi Etika dan Moral, Senin (6/7/2020).
Jimly mengatakan tidak ditandatanganinya UU KPK hasil revisi adalah persoalan yang serius. Tindakan tersebut, menurut dia, tidak sesuai dengan etika dan kepatutan konstitusional.
"Jadi ini persoalan serius ini bukan hanya soal sepele. Ini menyangkut soal kepatutan konstitusional," ujarnya.
Sebelumnya, seperti dikutip dari Tribunnews.com, Bagir Manan mempertanyakan mengapa Presiden Joko Widodo tidak menandatangani UU KPK tersebut.
Pernyataan itu dikatakan Bagir saat menjadi ahli sidang uji formil dan materil Undang-Undang KPK di ruang sidang pleno lantai II, Gedung MK, Rabu, (24/6/2020).
"Sudah disetujui, tetapi tidak ditandatangani. Pertanyaan lebih jauh, presiden tidak tanda tangan berarti ada sesuatu yang tidak disetujui oleh presiden?" ujar Bagir Manan.
Menurut dia, sikap presiden tidak menandatangani draft revisi UU KPK tidak sesuai praktik etika ketatanegaraan.
Meskipun, kata dia, pada umumnya presiden mengesahkan undang-undang yang sudah disepakati bersama antara pemerintah dengan DPR.
Dia menilai, tidak adanya tandatangan presiden sebagai sesuatu anomali yang tidak sesuai dengan asas atau prinsip umum pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
"Keputusan Presiden membiarkan Rancangan Undang-Undang KPK menjadi undang-undang tanpa pengesahan, semestinya disertai alasan-alasan yang dapat diketahui publik. Karena kalau sudah disetujui DPR itu sudah kehendak rakyat, dia mempunyai kewajiban untuk mengikuti kehendak rakyat," ucapnya.
sumber: kompas.com
Loading...
loading...