7 Pemilu Paling Curang dalam Sejarah Dunia Modern - Pusat Informasi Indragiri Hilir

Sabtu, 29 Juni 2019

7 Pemilu Paling Curang dalam Sejarah Dunia Modern

7 Pemilu Paling Curang dalam Sejarah Dunia Modern

7 Pemilu Paling Curang dalam Sejarah Dunia Modern

MGI - BANYAK pemilihan umum (pemilu) di berbagai negara ditandai dengan kasus kecurangan dan penipuan. Kecurangan yang terjadi salah satunya adalah mengganggu proses pemilihan untuk memenangkan seorang kandidat atau untuk membuat lawan politik kalah. 

Kecurangan lainnya adalah penggelembungan suara dari kandidat yang disukai atau mengurangi suara lawannya. Negara-negara di dunia memiliki undang-undang yang berbeda yang mengatur proses pemilu dan pelanggaran. Tindakan yang bertentangan dengan undang-undang tersebut juga merupakan kecurangan pemilu.

Berikut  diulas tujuh pemilu paling curang dalam sejarah dunia modern. Data ini mengutip artikel laman worldatlas berjudul "Most Rigged And Corrupt Elections In Modern World History" yang di dalamnya tertulis sepuluh pemilu paling curang abad 21 mulai dari Nazi Jerman hingga Afrika Sub-Sahara.

Dari data itu hanya diringkas tujuh pemilu paling curang dengan tahun-tahun kejadian yang lebih modern. Berikut rinciannya;

1. Pemilu Turki 2015


Pemilu ke-24 Turki diadakan pada 7 Juni 2015, dengan empat partai politik besar muncul dengan hasil perolehan suara yang bervariasi. Partai yang berkuasa saat itu, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) kehilangan suara mayoritas di parlemen, yakni hanya mengumpulkan 40,9% suara. 

Partai-partai lain yang berpartisipasi dalam pemilu termasuk Partai Rakyat Republik (CHP), Partai Gerakan Nasionalis (MHP), dan Partai Demokrat Rakyat (HDP). Namun, kontroversi membayangi pemilihan sebelum, selama, dan setelah hasilnya diumumkan. 

Selama kampanye, presiden setempat kala itu, Recep Tayyip ErdoÄŸan, dituduh berencana melakukan penipuan pemilu dan beberapa penyimpangan. Penyimpangan termasuk penggunaan sumber daya negara oleh AKP, data pemilih yang salah, bias media, dan intimidasi.

Tuduhan-tuduhan ini menyebabkan kekerasan politik dan vandalisme terutama terhada properti kandidat. Dewan Pemilihan Agung juga dituduh mencetak surat suara berlebih yang menimbulkan kontroversi. 

Proses pemungutan suara ditandai oleh banyak pelanggaran. Pada 3 Juni 2015, Volunteer Election Monitoring Group dan kelompok pemantau pemilu lainnya mengklaim bahwa partai-partai tersebut telah mencatat suara tambahan yang mengarah pada kekerasan bermotivasi politik di seluruh negeri. Hasil pemilu menghasilkan komposisi kursi parlemen yang menggantung pertama kali di negara itu dengan AKP mengumpulkan 40,9%, CHP 25%, MHP 16,3%, dan HDP 13,1%. Pembicaraan untuk membentuk pemerintah koalisi gagal beberapa kali. AKP mendukung pemilu dini yang akhirnya diadakan pada 1 November 2015.

2. Pemilihan Presiden Rumania 2014


Pemilihan Presiden Rumania 2014 diselenggarakan dalam dua putaran. Pada putaran pertama yang diadakan pada tanggal 2 November 2014, dua dari 14 kandidat lolos ke putaran kedua karena tidak ada kandidat yang memperoleh lebih dari 50% suara; Victor Ponta dari Partai Sosial Demokrat, dan Klaus Iohannis dari Partai Liberal Nasional (PNL).
Putaran kedua pemilihan presiden dijadwalkan pada 16 November 2014, di mana Mahkamah Konstitusi mengonfirmasi hasil pemilihan dan mengesahkan Klaus Iohannis sebagai presiden. 

Pemilihan presiden diwarnai protes, di mana para pemilih di luar negeri menyatakan ketidakpuasan dengan proses pemungutan suara dan menuntut agar pemungutan suara diperpanjang lewat pukul 21.00 malam. Hasil akhir dipandang sebagai kejutan karena Ponta adalah kandidat presiden favorit sebelum pemilihan presiden putaran kedua. 

Pemilihan itu juga ditandai dengan dugaan suap, yakni adanya distribusi makanan kepada lebih dari 6,5 juta orang selama kampanye. Wakil Victor Ponta juga dituduh membujuk pemilih secara ilegal di Moldova untuk memilih Ponta. Tak hanya itu, pemungutan suara juga ditandai oleh pemilih Diaspora yang melakukan protes di sekitar tempat pemungutan suara di Paris, London, New York, dan Madrid.

3. Pemilu Kenya 2007


Pemilu Kenya pada tanggal 27 Desember 2007 digelar untuk memilih presiden, Anggota Parlemen, dan Dewan Lokal. Pemilihan presiden menjadi ajang kontes antara Kibaki dan pemimpin oposisi Raila Odinga. 

Pemilu diwarnai permusuhan etnik, di mana Kibaki memimpin Kikuyu yang dominan. Sedangkan Raila menciptakan basis yang lebih luas dengan menyatukan lima suku besar. 

Meskipun jajak pendapat menunjukkan bahwa Raila Odinga memiliki dukungan yang signifikan di seluruh negeri, Kibaki dinyatakan sebagai pemenang dengan 46% suara. Sedangkan Raila Odinga meraih 44% suara. 

Namun, partainya Odinga memenangkan mayoritas kursi di Majelis Nasional atau Parlemen. Odinga dan para pendukungnya menolak hasil pemilihan mengingat Odinga telah memperoleh suara terbanyak di enam dari delapan provinsi. Juga, beberapa basis dukungan Kibaki telah tercatat lebih dari 100% jumlah pemilih. 

Kibaki tetap dilantik sebagai presiden pada tanggal 30 Desember 2007. Kekerasan pecah tak lama setelah hasil pemilu diumumkan dan memicu bentrokan etnik. Kekerasan itu menyebabkan lebih dari 1.300 orang tewas dan 600.000 orang kehilangan tempat tinggal. Raila Odinga dan Kibaki pada akhirnya membentuk pemerintahan koalisi dengan Odinga menjadi perdana menteri.

4. Pemilu Uganda 2006

Yoweri Museveni

Pemilu multi-partai pertama Uganda diadakan pada 23 Februari 2006. Presiden yang berkuasa, Yoweri Museveni, mencalonkan diri lagi untuk pemilihan presiden melalui Gerakan Perlawanan Nasional (NRM). Lawan utamanya adalah Kizza Besigye yang menjalankan Forum untuk Perubahan Demokrasi (FDC). 

Pada empat bulan proses pemilu, Besigye ditangkap atas tuduhan pengkhianatan. Penangkapan itu menyebabkan kekerasan dan kerusuhan di seluruh Uganda. 

Museveni memenangkan pemilihan dengan 59% suara, sementara Besigye mengumpulkan 37% suara. 

NRM, partainya Museveni, juga memenangkan mayoritas kursi Parlemen. Oposisi yang dipimpin oleh Besigye memprotes hasil pemilu di Kampala, namun Mahkamah Agung menolak permohonannya untuk menolak hasil pemilu meskipun mayoritas banch mengakui bahwa ada penyimpangan pemilu. 

Pemilu diwarnai kontroversi, di mana pemerintah dituduh mengintimidasi para pemimpin oposisi yang merupakan pendukung mereka yang ditangkap dan ditahan.

5. Pemilu Serbia Tahun 1996 dan 2000

Slobodan Milosevic

Pemilu Serbia diadakan pada tanggal 3 dan 16 November 1996. Pemilu diikuti partai-partai baik di Serbia dan Montenegro, di mana koalisi Partai Sosialis Serbia dan mitranya muncul sebagai kubu pemenang terbesar di Parlemen Federal. 

Pihak oposisi mengadakan beberapa protes di seluruh wilayah dalam menanggapi kecurangan pemilu yang diupayakan oleh Presiden Slobodan Milosevic. 

Selanjutnya pemilu tahun 2000 diadakan pada 24 September. Ini merupakan pemilu bebas pertama di negara itu sejak 1992. Hasil awal menunjukkan bahwa kandidat oposisi dari kubu Demokrat, Vojislav Kostunica unggul dari kandidat petahana Slobodan Milosevic. Meski demikian, perolehan suara kandidat oposisi kurang dari 50,01% dan sesuai aturan diperlukan putaran kedua pemilu. 

Namun, Vojislav bersikeras bahwa dia tidak hanya unggul tetapi juga telah melampaui ambang batas perolehan suara yang disyaratkan sebagai pemenang. Kekerasan spontan pecah, di mana pendukung Vojislav memaksa Milosevic mengundurkan diri pada 7 Oktober 2000 dan mengakui kekalahan. Hasil pemungutan suara kemudian direvisi dan membuktikan klaim Vojislav benar.

6. Pemilu Filipina di Bawah Rezim Ferdinand Marcos, 1965-1986

Ferdinand Marcos

Ferdinand Marcos adalah seorang politisi Filipina yang memerintah negara itu dari tahun 1965 hingga 1986. Ia memerintah sebagai diktator dengan pemerintahan ditandai dengan korupsi dan kebrutalan. 

Dia menempatkan negara itu di bawah status darurat militer pada tahun 1972, membungkam media, dan menggunakan kekerasan terhadap mereka yang berada di kubu oposisi. Pada tahun 1965, Marcos memenangkan pemilu untuk menjadi presiden ke-10 Filipina. 

Pada 1969 dia kembali memenangkan pemilu dan menandai dimulainya kediktatorannya. Pada tahun 1978, pemilu formal pertama diadakan sejak 1969. Namun, Lakas ng Bayan tidak memenangkan kursi apa pun meskipun dukungan publik dan kemenangannya nyata. 

Pihak oposisi kemudian memboikot pemilihan presiden 1981 yang dimenangkan Marcos dengan lebih dari 16 juta margin suara. Pada pemilu 1986, bangsa bersatu di belakang Corazon Aquino yang mengepalai United Nationalist Democratic Organization. Komisi Pemilihan menyatakan Marcos pemenang pemilu meskipun Aquino unggul dengan lebih dari 700.000 suara. Aquino, pendukungnya, dan pengamat internasional menolak hasil pemilu yang mengarah ke revolusi, yang pada akhirnya memaksa Marcos lengser dan melarikan diri ke pengasingan di luar negeri pada tahun 1986.

7. Pemilu Rumania 1946

Peta penghitungan suara Pemilu Rumania 1946

Pemilu Rumania tahun 1946 diadakan pada tanggal 19 November dengan hasil resmi memberikan kemenangan kepada Partai Komunis Rumania (PCR) dan sekutunya; BPD. BPD juga memenangkan mayoritas kursi di parlemen (348). 

Namun, komentator politik menuduh BPD menang melalui taktik intimidasi dan malapraktik pemilihan. Banyak peneliti mengklaim bahwa partai itu menang dengan 48% suara dan bukan 80% seperti yang diklaim dan tidak memenuhi persyaratan untuk membentuk pemerintah.

Pemilu 1946 disamakan dengan pemilu cacat lainnya yang diadakan pada akhir Perang Dunia II di negara-negara yang membentuk Blok Timur. Pemerintah Inggris juga menolak untuk mengakui hasil pemilu tersebut. [sn]




Loading...
loading...

Berita Lainnya

Berita Terkini

© Copyright 2019 Infoinhil.com | All Right Reserved