BERITA INFO INHIL - Seorang warga di Karanganyar, Jawa Tengah, memiliki nama yang unik. Berbeda dengan nama pada umumnya, pria yang lahir pada 13 Mei 1975 itu bernama Dua Malam Sehari.
Kisah pemberian nama Dua Malam Sehari itu bermula saat terjadi masalah ketika proses persalinan. Almarhum bapaknya yang bernama Sapuan Djoyo Supadmo risau gara-gara kelahiran Hari tidak kunjung lahir sesuai prediksi.
Ibunya, Sutasmi Djoyo Supadmo, harus menanggung sakit selama satu hari, dua malam karena bayi dalam kandungannya tidak lahir sesuai prediksi. Oleh sebab itu, durasi persalinan itulah yang disematkan menjadi sebuah nama.
"Kenapa dinamakan Dua Malam Sehari itu karena cerita waktu itu, saya tidak kunjung lahir. Padahal seharusnya itu sudah saatnya saya lahir. Ibu saya harus merasakan sakit selama dua malam sehari. Orang desa nyebutnya 'nglarani'," cerita Hari dikutip dari Solopos.com -- jaringan Suara.com, Sabtu (11/7/2020).
Hari bercerita ibunya melahirkan di rumah dibantu oleh bidan setempat di Dukuh Sawahan, Desa Karangpandan, Kecamatan Karangpandang, Karanganyar. Dia menggambarkan ilmu medis kala itu belum maju dan lengkap seperti sekarang.
Malu sering diejek
Setelah beranjak remaja, Hari tidak bisa menutupi rasa malu kala itu. Terutama setiap dia mengurus administrasi di instansi maupun pada kesempatan lain saat namanya disebut. Setiap orang yang mendengar namanya Dua Malam Sehari terkekeh dan melayangkan ejekan.
"Saat TK itu belum paham. Waktu SD, setiap menerima buku kan nama dipanggil. Di SMP, SMA, atau saat mencari SIM, KTP. Muka saya selalu merah padam ketika nama saya dipanggil. Kan memanggilnya teriak-teriak atau pakai mikropon. Ada yang bully ke hal-hal seperti itu. Ya agak malu," tutur dia.
Pernah, Hari menyiasati dengan menyisipkan secarik kertas pada setiap berkas yang dia bawa. Kertas bertuliskan "Dua Malam Sehari. Nama panggilan, Hari".
Kertas tersebut dijepit menggunakan klip pada berkas yang dikumpulkan. Harapannya, petugas yang memanggil tidak akan menyebutkan nama lengkapnya, tetapi hanya nama panggilan.
"Jadi kalau saya mengurus berkas di tempat umum, saya kasih tulisan. Tetapi ada kejadian tulisan itu dibaca utuh sama petugas pas daftar TNI di Warastratama," ungkap dia terkekeh.
Meski demikian, Hari tidak berpikir akan mengganti nama pemberian orang tua itu. Lelaki yang bekerja sebagai wirausahawan itu mengaku sudah tidak tersinggung dengan tatapan aneh orang-orang saat mendengar namanya.
"Mereka tidak tahu nama ini. Ada bully apa pun belum pernah sekalipun menanggapi negatif atau marah. Apa pun itu doa. Saya tidak perlu menanggapi negatif atau berlebihan," kata dia.
Karier moncer
Hari memiliki karier yang cukup moncer di bidang olahraga, terutama sepak bola. Lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) ASMI di Karanganyar tahun 1998 itu mengenal dunia sepak bola sejak SD.
Hari tergabung dalam klub di Desa Karangpandan. Ia terus menggeluti hobinya hingga seringkali mengikuti turnamen antarkampung pada SMP hingga SMA.
Saat menempuh pendidikan tinggi, Hari ternyata satu almamater dengan para pemain sepak bola nasional, mulai dari penyerang Persija Jakarta Wahyu Teguh hingga Wasis Setiawan Persis Solo.
"Tahun 2010 bersama Rochy Putiray bikin sekolah sepak bola. Lokasi latihan di lapangan Desa Karangpandan. Sekarang sudah tidak jalan," ungkap Hari.
Meski demikian, Hari tetap membuktikan kecintaannya pada dunia sepak bola. Ia mendirikan sekolah sepak bola Jaya Muda di Karangpandan bersama pemain nasional seperti Sukisno, Agung Setyabudi dan masih banyak lagi.
Ia juga menyelenggarakan turnamen Plumbon Cup di Stadion Mini Plumbon, Tawangmangu. Dedikasinya pada dunia sepak bola membuat ia didaulat menjadi Ketua Asosiasi Kabupaten PSSI karanganyar pada periode lalu.
Hari bermimpi kembali mendirikan sekolah sepak bola. Tahun 2021 Hari menargetkan bisa kembali mendirikan sekolah sepakbola.
"Saya ingin berbakti di Kabupaten Karanganyar (lewat sepak bola)" tuturnya.
sumber: suarajateng.com
Kisah pemberian nama Dua Malam Sehari itu bermula saat terjadi masalah ketika proses persalinan. Almarhum bapaknya yang bernama Sapuan Djoyo Supadmo risau gara-gara kelahiran Hari tidak kunjung lahir sesuai prediksi.
Ibunya, Sutasmi Djoyo Supadmo, harus menanggung sakit selama satu hari, dua malam karena bayi dalam kandungannya tidak lahir sesuai prediksi. Oleh sebab itu, durasi persalinan itulah yang disematkan menjadi sebuah nama.
"Kenapa dinamakan Dua Malam Sehari itu karena cerita waktu itu, saya tidak kunjung lahir. Padahal seharusnya itu sudah saatnya saya lahir. Ibu saya harus merasakan sakit selama dua malam sehari. Orang desa nyebutnya 'nglarani'," cerita Hari dikutip dari Solopos.com -- jaringan Suara.com, Sabtu (11/7/2020).
Hari bercerita ibunya melahirkan di rumah dibantu oleh bidan setempat di Dukuh Sawahan, Desa Karangpandan, Kecamatan Karangpandang, Karanganyar. Dia menggambarkan ilmu medis kala itu belum maju dan lengkap seperti sekarang.
Malu sering diejek
Setelah beranjak remaja, Hari tidak bisa menutupi rasa malu kala itu. Terutama setiap dia mengurus administrasi di instansi maupun pada kesempatan lain saat namanya disebut. Setiap orang yang mendengar namanya Dua Malam Sehari terkekeh dan melayangkan ejekan.
"Saat TK itu belum paham. Waktu SD, setiap menerima buku kan nama dipanggil. Di SMP, SMA, atau saat mencari SIM, KTP. Muka saya selalu merah padam ketika nama saya dipanggil. Kan memanggilnya teriak-teriak atau pakai mikropon. Ada yang bully ke hal-hal seperti itu. Ya agak malu," tutur dia.
Pernah, Hari menyiasati dengan menyisipkan secarik kertas pada setiap berkas yang dia bawa. Kertas bertuliskan "Dua Malam Sehari. Nama panggilan, Hari".
Kertas tersebut dijepit menggunakan klip pada berkas yang dikumpulkan. Harapannya, petugas yang memanggil tidak akan menyebutkan nama lengkapnya, tetapi hanya nama panggilan.
"Jadi kalau saya mengurus berkas di tempat umum, saya kasih tulisan. Tetapi ada kejadian tulisan itu dibaca utuh sama petugas pas daftar TNI di Warastratama," ungkap dia terkekeh.
Meski demikian, Hari tidak berpikir akan mengganti nama pemberian orang tua itu. Lelaki yang bekerja sebagai wirausahawan itu mengaku sudah tidak tersinggung dengan tatapan aneh orang-orang saat mendengar namanya.
"Mereka tidak tahu nama ini. Ada bully apa pun belum pernah sekalipun menanggapi negatif atau marah. Apa pun itu doa. Saya tidak perlu menanggapi negatif atau berlebihan," kata dia.
Karier moncer
Hari memiliki karier yang cukup moncer di bidang olahraga, terutama sepak bola. Lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) ASMI di Karanganyar tahun 1998 itu mengenal dunia sepak bola sejak SD.
Hari tergabung dalam klub di Desa Karangpandan. Ia terus menggeluti hobinya hingga seringkali mengikuti turnamen antarkampung pada SMP hingga SMA.
Saat menempuh pendidikan tinggi, Hari ternyata satu almamater dengan para pemain sepak bola nasional, mulai dari penyerang Persija Jakarta Wahyu Teguh hingga Wasis Setiawan Persis Solo.
"Tahun 2010 bersama Rochy Putiray bikin sekolah sepak bola. Lokasi latihan di lapangan Desa Karangpandan. Sekarang sudah tidak jalan," ungkap Hari.
Meski demikian, Hari tetap membuktikan kecintaannya pada dunia sepak bola. Ia mendirikan sekolah sepak bola Jaya Muda di Karangpandan bersama pemain nasional seperti Sukisno, Agung Setyabudi dan masih banyak lagi.
Ia juga menyelenggarakan turnamen Plumbon Cup di Stadion Mini Plumbon, Tawangmangu. Dedikasinya pada dunia sepak bola membuat ia didaulat menjadi Ketua Asosiasi Kabupaten PSSI karanganyar pada periode lalu.
Hari bermimpi kembali mendirikan sekolah sepak bola. Tahun 2021 Hari menargetkan bisa kembali mendirikan sekolah sepakbola.
"Saya ingin berbakti di Kabupaten Karanganyar (lewat sepak bola)" tuturnya.
sumber: suarajateng.com
Loading...
loading...