BERITA INFO INHIL - Bagi segelintir manusia, wabah Covid-19 menjadi pemicu rantai prasangka. Demi kehati-hatian, banyak orang menghindari kerumunan di masjid, tetapi berprasangka buruk kepada mereka yang memilih menghadiri shalat berjamaah.
Rakyat berprasangka kepada pemimpinnya karena menutup banyak tempat keramaian yang menjadi penggerak roda ekonomi. Tidak jarang warga yang juga berprasangka jika virus korona hanya akal-akalan kaum berduit dan negara-negara besar adikuasa. Tuhan pun ikut dipersangkakan mengapa memberi masalah amat berat seperti korona.
Meski demikian, tidak sedikit yang memilih untuk berprasangka baik. Kita bisa saksikan banyak warga perumahan bergotong royong dengan swadaya menolong para penderita Covid-19 yang menjalani isolasi mandiri. Alih-alih mengusir, mereka menjaga kebutuhan hidup keluarga itu meski harus melalui protokol yang ketat. Tak jarang, para tetangga menggantung makanan di depan pagar penderita korona yang mesti menjalani karantina.
Syeikh Mahmud Al Mishri dalam Ensiklopedia Akhlak Rasulullah menjelaskan, Alquran mencatat prasangka dengan kata azh-zhahn. Imam Zarkasyi menjelaskan, azh-zhahn memiliki dua makna yang bertolak belakang. Satu bermakna yakin (al yaqin), lainnya berarti ragu (asy-syak). Azh-zhahn akan dimaknai al-yaqin jika sifatnya terpuji dan pelakunya mendapatkan pahala. Ketika dia bersifat tercela dan pelakunya mendapat siksa, azh-zhahn tersebut bermakna asy-syak atau ragu.
Untuk membedakannya, zhahn bermakna syak biasanya ditulis beriringan dengan “an” tanpa tasydid. Contohnya dalam QS al-Fath: 2. “Bahkan (semula) kamu menyangka bahwa Rasul sekali-kali tidak akan kembali lagi…” Sebaliknya, apabila kata zhahn beriringan dengan ‘an’ yang bertasydid, maknanya adalah yaqin. Semisal pada QS al-Haqqah: 20. “Sesungguhnya aku yakin bahwa suatu saat aku akan menerima perhitungan terhadap diriku.”
Kesimpulannya, jika diiringi dengan “an” bertasydid, kata zhann berfungsi sebagai ta’kid (penguat) sehingga bermakana yakin. Sebaliknya, jika “an” tidak bertasydid, kata zhahn berfungsi sebaliknya dan maknanya adalah ragu.
Di dalam banyak ayat Alquran dan hadis, berprasangka baik memang amat dianjurkan. Agama menjelaskannya dengan kata husnuzan. Husnuzan bahkan bisa dihukumi sebagai kewajiban ketika menyangkut hubungan manusia dengan Allah SWT. Nabi SAW bersabda jangan sampai kalian mati kecuali dalam keadaan husnuzhan kepada Allah SWT. (HR Muslim).
Husnuzan juga dianjurkan dalam hubungan antarsesama manusia. Rasulullah SAW selalu mencontohkan kepada para sahabatnya untuk berbaik sangka terhadap setiap orang. Abu Hurairah RA meriwayatkan suatu ketika Rasulullah SAW mengutus Umar RA untuk menarik zakat. Namun, Ibnu Jamil, Khalid bin Walid, dan Abbas paman Rasulullah SAW tidak menyerahkan (zakat) sehingga beliau bersabda.
“Tidak ada sesuatu yang membuat Ibnu Jamil enggan untuk menyerahkan zakat kecuali karena dirinya fakir, kemudian Allah menjadikannya kaya. Adapun Khalid, sesungguhnya kalian berbuat zalim kepadanya (karena) ia menginfakkan baju besi dan peralatan perangnya di jalan Allah. Adapun Abbas, aku telah mengambil zakatnya dua tahun yang lalu.”
Sebaliknya, dengan suuzan, yakni berprasangka buruk. Allah SWT mengingatkan kita agar menjauhi purbasangka jelek. “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka. Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain…” (QS al-Hujurat: 12).
Tingkatan haram prasangka buruk berbeda-beda. Yang paling berat adalah suuzan kepada Allah SWT. Allah mengancam akan memberikan hukuman, bahkan menyebut mereka yang berprasangka buruk sebagai munafik. “Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah.” (QS al-Fath: 6).
Suuzan juga terlarang kepada Rasulullah SAW dan para sahabat. Imam al-Qurthubi berkata, prasangka yang jelek kepada orang yang lahiriyahnya baik, tidak diperbolehkan. Dan, dosanya adalah hukuman yang akan didapatkan dari orang yang memiliki prasangka. (Tafsir al-Qurthubi, 16/332).
Meski demikian, al-Qurthubi mencatat, tidak sepenuhnya prasangka dilarang Allah SWT. Ada prasangka yang diperbolehkan. “Karena sebagian dari prasangka itu dosa.” (QS al-Hujurat: 12). Ayat ini merujuk pada pemahaman sebaliknya, ada sebagian prasangka yang bukan dosa.
Menurut Imam al-Qurthubi, zhahn dalam syariat terbagi menjadi terpuji dan tercela. Zhahn yang terpuji adalah zhahn yang tidak membahayakan agama orang yang berprasangka dan orang yang menjadi sasaran prasangka, ketika itu sampai kepadanya. Sementara, zhahn yang tercela adalah kebalikannya. (Tafsir al-Qurthubi, 16/332). Di antara zhahn yang boleh adalah zhahn kepada orang yang secara lahiriah dia jahat, atau terbiasa melakukan maksiat secara terang-terangan.
Meski demikian, kebanyakan prasangka buruk bersifat negatif. Pikiran-pikiran jelek hanya akan melahirkan sifat tercela bagi ‘pengidapnya’. "Dan kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan. Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikit pun berguna untuk melawan kebenaran .... " (QS Yunus: 36). Wallahu a’lam
sumber: republika
Rakyat berprasangka kepada pemimpinnya karena menutup banyak tempat keramaian yang menjadi penggerak roda ekonomi. Tidak jarang warga yang juga berprasangka jika virus korona hanya akal-akalan kaum berduit dan negara-negara besar adikuasa. Tuhan pun ikut dipersangkakan mengapa memberi masalah amat berat seperti korona.
Meski demikian, tidak sedikit yang memilih untuk berprasangka baik. Kita bisa saksikan banyak warga perumahan bergotong royong dengan swadaya menolong para penderita Covid-19 yang menjalani isolasi mandiri. Alih-alih mengusir, mereka menjaga kebutuhan hidup keluarga itu meski harus melalui protokol yang ketat. Tak jarang, para tetangga menggantung makanan di depan pagar penderita korona yang mesti menjalani karantina.
Syeikh Mahmud Al Mishri dalam Ensiklopedia Akhlak Rasulullah menjelaskan, Alquran mencatat prasangka dengan kata azh-zhahn. Imam Zarkasyi menjelaskan, azh-zhahn memiliki dua makna yang bertolak belakang. Satu bermakna yakin (al yaqin), lainnya berarti ragu (asy-syak). Azh-zhahn akan dimaknai al-yaqin jika sifatnya terpuji dan pelakunya mendapatkan pahala. Ketika dia bersifat tercela dan pelakunya mendapat siksa, azh-zhahn tersebut bermakna asy-syak atau ragu.
Untuk membedakannya, zhahn bermakna syak biasanya ditulis beriringan dengan “an” tanpa tasydid. Contohnya dalam QS al-Fath: 2. “Bahkan (semula) kamu menyangka bahwa Rasul sekali-kali tidak akan kembali lagi…” Sebaliknya, apabila kata zhahn beriringan dengan ‘an’ yang bertasydid, maknanya adalah yaqin. Semisal pada QS al-Haqqah: 20. “Sesungguhnya aku yakin bahwa suatu saat aku akan menerima perhitungan terhadap diriku.”
Kesimpulannya, jika diiringi dengan “an” bertasydid, kata zhann berfungsi sebagai ta’kid (penguat) sehingga bermakana yakin. Sebaliknya, jika “an” tidak bertasydid, kata zhahn berfungsi sebaliknya dan maknanya adalah ragu.
Di dalam banyak ayat Alquran dan hadis, berprasangka baik memang amat dianjurkan. Agama menjelaskannya dengan kata husnuzan. Husnuzan bahkan bisa dihukumi sebagai kewajiban ketika menyangkut hubungan manusia dengan Allah SWT. Nabi SAW bersabda jangan sampai kalian mati kecuali dalam keadaan husnuzhan kepada Allah SWT. (HR Muslim).
Husnuzan juga dianjurkan dalam hubungan antarsesama manusia. Rasulullah SAW selalu mencontohkan kepada para sahabatnya untuk berbaik sangka terhadap setiap orang. Abu Hurairah RA meriwayatkan suatu ketika Rasulullah SAW mengutus Umar RA untuk menarik zakat. Namun, Ibnu Jamil, Khalid bin Walid, dan Abbas paman Rasulullah SAW tidak menyerahkan (zakat) sehingga beliau bersabda.
“Tidak ada sesuatu yang membuat Ibnu Jamil enggan untuk menyerahkan zakat kecuali karena dirinya fakir, kemudian Allah menjadikannya kaya. Adapun Khalid, sesungguhnya kalian berbuat zalim kepadanya (karena) ia menginfakkan baju besi dan peralatan perangnya di jalan Allah. Adapun Abbas, aku telah mengambil zakatnya dua tahun yang lalu.”
Sebaliknya, dengan suuzan, yakni berprasangka buruk. Allah SWT mengingatkan kita agar menjauhi purbasangka jelek. “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka. Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain…” (QS al-Hujurat: 12).
Tingkatan haram prasangka buruk berbeda-beda. Yang paling berat adalah suuzan kepada Allah SWT. Allah mengancam akan memberikan hukuman, bahkan menyebut mereka yang berprasangka buruk sebagai munafik. “Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah.” (QS al-Fath: 6).
Suuzan juga terlarang kepada Rasulullah SAW dan para sahabat. Imam al-Qurthubi berkata, prasangka yang jelek kepada orang yang lahiriyahnya baik, tidak diperbolehkan. Dan, dosanya adalah hukuman yang akan didapatkan dari orang yang memiliki prasangka. (Tafsir al-Qurthubi, 16/332).
Meski demikian, al-Qurthubi mencatat, tidak sepenuhnya prasangka dilarang Allah SWT. Ada prasangka yang diperbolehkan. “Karena sebagian dari prasangka itu dosa.” (QS al-Hujurat: 12). Ayat ini merujuk pada pemahaman sebaliknya, ada sebagian prasangka yang bukan dosa.
Menurut Imam al-Qurthubi, zhahn dalam syariat terbagi menjadi terpuji dan tercela. Zhahn yang terpuji adalah zhahn yang tidak membahayakan agama orang yang berprasangka dan orang yang menjadi sasaran prasangka, ketika itu sampai kepadanya. Sementara, zhahn yang tercela adalah kebalikannya. (Tafsir al-Qurthubi, 16/332). Di antara zhahn yang boleh adalah zhahn kepada orang yang secara lahiriah dia jahat, atau terbiasa melakukan maksiat secara terang-terangan.
Meski demikian, kebanyakan prasangka buruk bersifat negatif. Pikiran-pikiran jelek hanya akan melahirkan sifat tercela bagi ‘pengidapnya’. "Dan kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan. Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikit pun berguna untuk melawan kebenaran .... " (QS Yunus: 36). Wallahu a’lam
sumber: republika
Loading...
loading...